RESUME (Al-Maqamat :Cinta, Ridha, dan Maqam Lain)

IDENTITAS
Nama                           : Muhammad Sabrino Raharjo
NIM                            : 72154050
Prodi/Sem.                  : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu         : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

TEMA                                    : Cinta, Ridha, dan Maqam Lain (Hirarki al-Maqam)

BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku            : Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana Publishing, 2016)

Sub 1 :Cinta (al-mahabbah)
Dirangkum menurut Ja’far(2016:78):
Cinta (al-mahhabbah) adalah maqam sebelum menuju ridha. Didalam al-Qur’an terdapat beberapa dalil tentang al-mahhabbah, yang diantaranya adalah Q.S. al-Maidah:54, Q.S. al-Shaff:44 dan Q.S Ali-Imran:31. Namun, didalam al-qur’an yang disebutkan tidak menggunakan kata al-mahabbah, melainkan menggunakan kata dasar hub yang disebutkan dalam berbagai bentuk kata sebanyak ± 99 kali.
Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah:165 , yang artinya secara ringkas menggambarkan tentang orang – orang yang menyembah selain Allah, kemudian mereka mencintai yang mereka sembah itu sebagaimana mereka mencintai Allah, maka sesungguhnya mereka akan menyesalinya ketika melihat siksa Allah yang amat berat tiada tertandingi dari yang mereka sembah itu. Dan orang – orang yang beriman tetaplah amat sangat cintanya kepada Allah Swt(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,78).
Dalam pengajaran ilmu tasawuf makna daripada al-Mahabbah dapat dilihat dari ucapan kaum sufi Junaid al-Baghdadi misalnya, beliau berkata “cinta adalah masukknya sifat – sifat kekasih pada sifat mencintai” kemudian Husain al-Manshur al-Hallaj juga mengatakan bahwa “Hakikat cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat – sifat mu” serta ditambah lagi oleh pendapat Ibnu Qudamah “tanda cinta kepada Allah Swt., adalah senantiasa gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada Allah seperti membaca al-Qur’an dan Shalat Tahajud” (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,80).

Sub 2 : Ridha (al-Ridha)
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya adalah “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan menerima. Dalam kamus bahasa Indonesia, ridha adalah “rela, suka, senang hati, berkenan, dan rahmat.”(Ja’far. 2016:80).
Terdapat 73 kali penyebutan kata Ridha dalam al-Qur’an, beberapa diantaranya adalah :
1.      Radhiya = 6 kali.
2.      Radhitu = 1 kali.
3.      Radhitum = 2 kali.
4.      Radhu’ = 9 kali.
5.      Tardha = 4 kali.
6.      Tardhahu = 2 kali.
7.      Tardhaha = 1 kali.
8.      Tardhau = 2 kali,
9.      Tardhauna = 1 kali.
10.  Tardhaunaha = 1 kali.
11.  Yardha = 5 kali.
12.  Yardhahu = 1 kali.
13.  Yardhahunahu = 1 kali.
14.  Liyardhahu = 1 kali.
15.  Yardhaina = 1 kali.
16.  Yardhukum = 1 kali.
17.  Yardhunakum = 1 kali.
18.  Yardhuhu = 1 kali.
19.  Taradhu = 1 kali.
20.  Taradhaitum = 1 kali.
Dan seterusnya banyak lagi penyebutan istilah ridha secara berulang kali dan dalam berbagai bentuk yang memperlihatkan bahwa maqam Ridha bernilai penting dalam islam (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,81).
Menurut al-Hujwiri , “ridha terbagi menjadi dua macam, yaitu Ridha Allah terhadap hambanya, dan Ridha hamba terhadap Allah Swt. Ridha Allah terhadap hambanya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya , sedangkan Ridha hamba terhadap Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukumnya.” (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,83)
Makna rida sendiri menurut Ibnu Qudamah ialah : “seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia, dan ridha atas penderitaan karena dibalik penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah Swt. (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,84)

Sub 3 : Maqam Lain
Menurut buku karangan Dr.Ja’far, M.A yang berjudul Gerbang Tasawuf , tertulis maqam lain yang masih dapat diraih oleh seorang salik setelah mencapai ridha, yakni maqam Makrifat.
Maqam makrifat yang disebutkan ini menurut sebagian sufi merupakan maqam tertinggi diantara maqam – maqam yang harus dicapai oleh seorang salik untuk bisa menjadi seorang sufi yang sejati.
Menurut al-Kalabazi, makrifat terbagi menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat – sifat yang dikemukakan-Nya dan al-ma’rifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,84).
Pengertian daripada makrifat menurut Nashr al-Din al-Thusi adalah derajat tertinggi pengetahuan tentang Allah Swt. dan pengetahuan tentang-Nya memiliki beberapa tingkatan(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,85).

Kesimpulan
Cinta (al-Mahabbah) dalam pengajaran ilmu tasawuf merupakan sebuah rasa ketertarikan dari hati manusia yang mencapai kepada keinginan untuk menjadikan Allah Swt. seperti kekasih hati manusia dengan menangggal sifat – sifat buruk yang ada pada manusia kemudian senantiasa gemar mengasingkan diri dalam rangka hanya untuk bermunajat kepada Allah Swt. dengan memperbanyak dzikir, membaca al-Qur’an , dan melaksanakan shalat tahajud sebagai bentuk tanda cinta kita kepada Allah Swt.
Ridha adalah sifat maupun sikap ikhlas menerima apapun adanya yang telah ditetapkan Allah atas segala bentuk usaha yang telah kita lakukan yang lebih diperkuat lagi dengan sikap hati yang tenang dalam tunduk terhadap ketentuan – ketentuan dan larangan Allah Swt.
Makrifat adalah maqam tertinggi dalam urutan pencapaian seorang salik dalam mencapai sufi yang merupakan derajat tertinggi daripada pengetahuan tentang Allah Swt.


BUKU 2                     : Ilmu Tasawuf
IdentitasBuku            : M. Alfatih Suryadilaga., dkk (Yogyakarta:KALIMEDIA, 2016)

Termuat dalam BAB 3 , tentang (Al-Maqamat, dan Al Ahwal)
Sub 1 : Ridha
(Alfatih:2016,106)
Ridha iala suatu tingkatan pengembaraan ruhani dimana sufi mampu mengubah segala bentuk penderitaan , kesengsaraan , dan kesusahan menjadi kegembiraan dan kenikmatan.
Menurut Dzul An-Nun , ridha merupakan sebuah perasaan bahagia dengan bagaimanapun pahitnya ketentuan tuhan(Alfatih,IlmuTasawuf : 2016,107).

Sub 2 :Cinta
(Suryadilaga, Alfatih.Ilmu Tasawuf.Kalimedia.Yogyakarta:2016,118-119)
Al-Hubb(Mahabbah) secara harfiah berarti mencintai secara mendalam yang lebih ditegaskan kembali oleh Jamil Shaliba dalam bukunya (Al-Mu’Jam al-Falsafy.1978:349), mahabbah adalah kecintaan yang mendalam secara ruhaniah kepada tuhan.
Menurut Al-Sarraj sebagaimana dikutip dari Harun Nasution, mahabbah mempunyai 3 tingkatan :
1.      Cinta Biasa
Iala cinta yang selalu mengingat tuhan dengan cara berdzikir.
2.      Cinta Orang yang Siddiq (orang yang kenal kepada Tuhan,Kebesaran-Nya, Kekuasaan-Nya, Ilmu-Nya, dan lain – lain )
Cinta ini ialah cinta yang dapat menghilangkan tabir pemisah diri seorang dari tuhan yang kemudian dapat melihat rahasia – rahasia Tuhan. Cinta tingkat ini membuat hati orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat – sifat pribadinya, penuh dengan rasa cinta kepada Tuhan , dan selalu rindu pada-Nya.
3.      Cinta Orang yang Arif ( orang yang tahu betul dengan Tuhan)
Cinta ini timbul karena telah tahu betul tentang Tuhan. Akhirnya sifat – sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Sub 3 :Maqam Lainnya
Dalam literatur tasawuf tidak ditemukan keseragaman dari ahli – ahli ilmu tasawuf dalam menentukan jumlah tingkatan (susunan) dari Al-Maqamat. Hal ini terlihat dari Abu Nashr Al Sarraj Al Thusi dalam kitabnya Al-Luma’ tingkatan terakhir adalah Ridha, Abu Bakar Muhammad Al Kalabi tingkatan terakhir adalah makrifat, dan Al-Ghazali menempatkan pada tempat tertinggi adalah ma’rifat dan ridha.
Oleh karena itu dalam buku ini diambil fokus pada formulasi Al-Maqamat oleh Al-Thusi yang didasari oleh hasil pencermatan bahwa masing – masing maqam yang disusun Al-Thusi banyak terdapat pada kitab – kitab lainnya(Alfatih,IlmuTasawuf : 2016,96-97).


Kesimpulan
Ridha adalah tingkatan pengembaran ruhani seorang sufi dimana sufi tersebut perasaan nya telah merasa bahagia selalu bagaimanapun pahitnya ketentuan yang ditetapkan tuhan
Cinta adalah perasaan mencintai secara mendalam yang sampai kepada tidak adalagi perasaan maupun hal – hal lain yang membatasi kedekatan seorang sufi dengan Tuhannya.

PERBANDINGAN  :
            Buku pertama secara detail menerangkan kejadian yang dilakukan seorang salik dalam mencapai sufi dan memaparkan banyak sekali berdasarkan pendapat – pendapat kaum sufi yang sudah terpercaya dan terlebih dahulu menjalani maqam – maqam ini.
            Buku kedua memuat pemaparan yang lebih terperinci dalam topik cinta, namun tidak memuat paparan mengenai maqam makrifat yang dikarenakan maqam tersebut hanya dikemukakan oleh beberapa sufi saja.

Read more

Biografi Sufi (Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj)

IDENTITAS
Nama                           : Muhammad Sabrino Raharjo
NIM                            : 72154050
Prodi/Sem.                  : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu         : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

TEMA                                    : Biografi Sufi (Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj)
BUKU REFERENSI            : *(Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Pustaka  
                                                     Panjimas, Jakarta, 1983)
                                                  *(Attar, Fariduddin.Tazkiratul Auliya. Al-Farooq Book  
                                                     Foundation, Lahore, 1997)

AL HUSAIN BIN MANSHUR AL HALLAJ

A.    Identitas dan Riwayat Hidup.
Nama besarnya adalah Abu Wusith Al-Husain bin Manshur Al-Hallaj Muhammad Al-baidhowi. Lahir di Thur, salah satu desa dekat Baida di Persia, pada tahun 244H/858M, dan merupakan salah seorang murid dari Sahl bin Abdullah At Tusturi dan berguru pula pada Amar Al-Makki dan Al-Juanaid. Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati dan hukuman mati ini dilaksanakan secara kejam pada tanggal 29 Zulkaidah 309 H atau 28 Maret 913, sehinngga beliau meninggal pada tahun 309 H/ 913 M.
Al-Hallaj hidup di zaman pemerintahan khalifah Al-Maktadirbillah. Dan ia kawin dengana nak Abu Ya’kub Al-Aqtha’. Pernah dua kali ia ditahan polisi kerjaan Abbasiyah dan atas perintah perdana menteri Ibnu Isa dalam tahun 913 H. Al-Hallaj dipenjara selam 8 tahun (Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm. 138).
Abul Mughits al-Husain bin Manshur al-Hallaj adalah tokoh yang paling kontroversil di dalam sejarah mistisme Islam, ia sangat sering melakukan pengembaraan, mula-mula ke tustar dan Baghdad, kemduain ke Mekkah, dan sesudah itu ke Khuziztan, Khurasan, Transoxiana, Sistan, India dan Turkistan. Terakhir sekali ia kembali kota Baghdad, tetapi karena khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Allah ia dipenjarakan, dengan tuduhan telah menyebarkan faham inkarnasionisme. Ia menulis beberapa buah buku dan syair-syair yang banyak jumlahnya. Di dalam legenda Muslim, al-Hallaj tampil sebagai prototip dari seorang pencinta yang mabuk dan tergila-gila kepada Allah.

B.     Pengembaraan Al-Hallaj
(Attar, Fariduddin.Tazkiratul Auliya. Al-Farooq Book Foundation, Lahore, 1997, bab.20).
Husain al-Manshur, yang dijuluki al Hallaj (pemangkas bulu domba), mula mula pergi ke Tustar, dan mengabdi kepada Sahl bin Abdullah selama dua tahun. Setelah itu ia pindah ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya ketika ia berusia 18 tahun.
Setelah itu ia pergi ke Bashrah dan mengikuti “Amr bin “Utsman selama delapan belas bulan. Ya’qub bin Aqtha menikahkan putrinya kepada Hallaj, dan setelah pernikahan itulah “Amr bin ‘Utsman tidak senang kepadanya. Maka Hallaj meninggalkan kota Bashrah dan pergi ke Baghdad mengunjungi Junaid. Junaid menyuruh Hallaj berdiam diri dan menyendiri. Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid ia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di Kota Mekkah selama setahun, kemudian kembali ke Baghdad. Bersama sekelompuk sufi, ia mendengarkan ceramah ceramah Junaid dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh Junaid.
Ketika Junaid tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan, Hallaj menjadi jengkel dan pergi menuju Tustar tanpa pamit. Di sini ia tinggal selama setahun dan mendapatkan sambutan luas. Karena Hallaj kurang acuh terhadap doktrin yang populer pada masa itu, para theology sangat benci kepadanya. Sementara ‘Amr bin ‘Utsman menyurati orang-orang Khuziatan dan memburuk-burukan nama Hallaj. Tetapi Hallaj sendiri sebenarnya sudah bosan di tempat itu. Pakaian sufi dilepaskannya dan ia mencebur ke dalam pergaulan orang-orang yang mementingkan duniawi. Tetapi pergaulan ini tidak mempengaruhi dirinya. Lima tahun kemudian ia menghilang. Sebagian waktunya dilewatinya di Khurasan dan Transoxiana, dan sebagian lagi di Sistan.
Kemudian Hallaj kembali ke Ahwaz, khotbah-khotbahnya disambut baik oleh kalangan atas maupun rakyat banyak. Di dalam khotbah-khotbahnya itu ia mengajarkan rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. Setelah itu ia mengenakan jubah guru sufi yang lusuh dan pergi ke Tanah Suci bersama-sama dengan orang-orang yang berpakaian seperti dia. Ketika ia sampai ke Kota Mekkah, Ya’qub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Oleh karena itu Hallaj kembali ke Bashrah dan setelah itu ke Ahwaz.
Maka berangkatlah ia ke India, Transoxiana dan Cina untuk menyeru mereka ke jalan Allah dan memberikan pelajaran-pelajaran kepada mereka. Setelah ia meninggalkan negeri-negeri tersebut banyaklah oarng-orang dari sana yang berkirim surat kepadanya. Orang-orang India menyebut Hallaj sebagai Abul Mughits, orang-orang Cina menyebutnya Abul Mu’in, dan orang-orang Khurasan menyebutnya Abul Muhr, orang-orang Fars menyebutnya Abu ‘Abdullah, dan orang-orang Khuzistan menyebutnya Hallaj yang Mengetahui Rahasia-rahasia. Di kota Baghdad ia dijuluki sebagai Mustaslim dan di kota Bashrah sebagai Mukhabar.
C.    Ajaran – ajaran Al-Hallaj
Ajaran-ajarannya banyak dilukiskan berupa puisi atau terkandung prosa. Adapun sari teorinya adalah tentang: Hulul, An Nurul Muhammad dan perdamaian seluruh Agama. Dan isinya tidak berbeda denagn teori Ibnu ‘Araby yaitu :
1. Al-Hulul
Yaitu bersatunya Al-Khaliq dengan makhluk, menjelmalah Tuhan kepada dirinya apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup dalam kehidupan batiniyah maka pada mulanya ia muslim, lalu mukmin, lalu shaleh dan yang terakhir muqarrab pada Allah setelah ia sampai pada Hulul.
2. An-Nurul Muhammadiyah
Cinta kepada Allah adalah sebagai cinta yang pertama dan cinta kepada Muhammad sebagai cinta kedua, sebab Muhammad adalah penjelmaan yang Esa, Dialah yang batin dalam hakikat dan lahir dalam ma’rifat. Jadi Muhammad sendiri sebagai Abdullah dan Aminah serta sebagai Nur yang terlimpah, Allah memancarkan diri-Nya kepada sesuatu yang dinamai Muhammad.
3. Perdamaian Seluruh Agama

Agama islam menuju pada Allah. Jadi antara agama yang satu dengan yang lain tak ada bedanya, hanya perbedaan jalan saja dan itu merupakan taqdir Allah tak perlu diperselisihkan, maksud dan tujuannyapun sama, yeitu kembali pada Allah (Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, hlm. 109).
Read more

RESUME (Al-Maqamat : Fakir, Sabar, Tawakal)

IDENTITAS
Nama                           : Muhammad Sabrino Raharjo
NIM                            : 72154050
Prodi/Sem.                  : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu         : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

TEMA                                    : Faqir, Sabar, dan Tawakkal (Hirarki al-Maqam)

BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku            : Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 :Kefakiran (al-Faqr)
Dirangkum menurut Ja’far(2016:68):
Istilah Fakir berasal dari bahasa Arab yang juga disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali, diantaranya yaitu  faqura, yafquru, faqran, yang artinya Miskin. Dalam Bahasa Indonesia, fakir berarti “orang yang sangat berkekurangan, orang yang terlalu miskin, atau orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.”
Dikutip dari buku Dr.Ja’far(2016:68-70) terdapat beberapa hadis dari shahih al-Bukhari , sunan al-Turmudzi, dan hadis – hadis lain yang isinya dapat disimpulkan sebagai sebaik – baik manusia dimuka bumi ini adalah orang – orang yang fakir dan pasti orang – orang fakir akan mengisi sebagian besar alam surga setengah hari sebelum waktu masuk orang – orang kaya yang lamanya lima ratus tahun.
Al-Ghazali dalam keutamaan fakir kitab Ihya ‘Ulum al-Din menyebutkan dalil tentang fakir terdapat pada Q.S. Al-Hasyr/59:273. Beberapa kaum sufi menyatakan pendapat mengenai makna fakir, dua diantaranya adalah :
1.      Al-Kalabazi berkata : “Fakir adalah orang yang tidak boleh mencari mata pencaharian, kecuali orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaan.”
2.      Al-Nuri berkata : “Fakir adalah orang yang harus membungkam ketika tidak memiliki sesuatu, bermurah hati dan tidak hanya memikirkan diri sendiri jika memiliki sesuatu.” (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,70)
Kemudian dilanjutkan kembali, menurut Al-Ghazali , fakir dapat bermakna tidak memiliki harta, dan ada lima tingkatan fakir yang diantaranya adalah seorang hamba yang tidak suka diberi harta, merasa tersiksa dengan harta, dan menjaga diri dari kejahatan dan kesibukan untuk mencari harta; dan seorang hamba yang tidak merasa senang bila mendapatkan harta, dan tidak merasa benci bila tidak mendapatkan harta(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,71).

Sub 2 :Sabar (al-Shabr)
Kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Kata ini disebut dalam Alquran sebanyak 103 kali. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), dan tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu”(Ja’far. 2016:71).
Q.S. al-Anfal/8 : 46 tentang sabar :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya :
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Menurut Nashr al-Din al-Thusi, sabar secara harfiah bermakna “mencegah jiwa dan perasaan waswas ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.” Sabar dibagi menjadi tiga jenis, yaitu sabar kaum awam yakni menjaga jiwa agar tetap kokoh dalam kesabaran dan tetap konsisten dalam kekuatannya; sabar kaum zuhud yakni rasa takut dan sikap sabar kepada Allah dalam harapan untuk memperoleh ganjaran di akhirat; dan kesabaran ahli hikmah yakni merasakan kebahagiaan walaupun ditimpa musibah(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,74).
  
Sub 3 : Tawakal (al-Tawakkul)
Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan, yang berarti “mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung.” Istilah tawakal disebut dalam al-Quran dalam berbagai bentuk sebanyak 70 kali. Dalam Bahasa Indonesia tawakal adalah pasrah diri kepada kehendak Allah, percayah dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah (Ja’far. 2016:74-75).
Dalam karya – karya tasawuf oleh para sufi, dikutip sebuah intisari mengenai konsep sabar dari pendapat Nashr al-Din al-Thusi yang dapat kita sesuaikan dengan keadaan yang ada yakni, tawakkal tidak bermakna bahwa seorang hamba tidak melakukan apapun dengan alasan menyerahkan semua urusan kepada Allah, tetapi tawakkal bermakna bahwa setiap orang harus mempercayai bahwa segala sesuatu selain Allah pasti berasal dari Allah dan segala sesuatu bekerja sesuai dengan hubungan sebab-akibat (Ja’far,Gerbang Tasawuf:2016,77).

Kesimpulan
Fakir, Sabar dan tawakkal adalah tiga diantara maqam – maqam dalam ilmu tasawuf. Ketiga maqam ini memiliki kesamaan maksud dan tujuan dalam konteks sikap menahan diri terhadap sesuatu yang berpotensi negatif terhadap usaha pendekatan diri kepada Allah untuk menjadi seperti sufi.
Fakir merupakan sifat tidak ingin memiliki segala sesuatu dalam  bentuk harta duniawi jika itu merupakan yang tidak bermanfaat bagi sesama manusia dan aktifitas keagamaan oleh orang yang bersangkutan.
Sabar adalah menahan diri dari segala sesuatu yang lebih kepada berterima dengan lapang dada atas apapun yang terjadi dan diberikan kepadanya.
Tawakkal ialah berserah diri kepada Allah sebagai bentuk kepasrahan terhadap apa yang sudah diusahakan sebelumnya dan menerima hasilnya dari sang maha pemberi keputusan Allah Swt.





BUKU 2                     : Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya)
IdentitasBuku            : H. Ahmad Bangun Nasution,Hj.Royani Hanum Siregar
  (Jakarta:Rajawali Pers, 2013)

Sub 1 : Fakir(Faqr)
Dapat berarti sebagai kekurangan yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena kekayaan / harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan dan membuat jiwa menjadi lupa pada Allah. Maka dapat disimpulkan bahwa fakir adalah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan dari Allah atau penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang membuat jauh dari Tuhan.

Sub 2 :Sabar
Dalam Islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir irang harus bisa mencapai fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam rintangan, oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Di mana sabar memiliki pengertian yaitu menahan diri dari nafsu dan amarah. Dimana dalam firman Allah yaitu :
Wahai orang – orang yang beriman minta tolong lah dengan shalat dan sabar, sesungguhnya Allah bersama orang – orang yang sabar.”

Sub 3 :Tawakkal
Dalam syariat Islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan segala daya dan upaya dan ikhtiar dijalankannya. Tasawuf menjadikan maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan hati manusia agar tidak memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Tawakkal merupakan keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah Swt. serta berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Dikatakan oleh sejumlah kaum sufi bahwa barangsiapa yang hendak melaksanakan tawakkal dengan sebenar – benarnya hendaknya ia menggali kubur di situ melupakan dunia dan penghuninya artinya tawakal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah Swt.
  
Kesimpulan
Fakir, sabar, dan tawakkal merupakan tingkatan maqam yang selanjutnya setelah taubat, wara, dan zuhud. Ketiga maqam yang dijelaskan dalam buku kedua ini karya Bp. H. Ahmad Bangun dan Ibu Hj. Royani Hanum secara ringkas dan mengambil intisari yang lebih kepada perbuatannya yang mesti dilakukan oleh seseorang dalam menempuh maqam – maqam ini.
Maqam – maqam ini bertujuan untuk melihat seberapa besar amal ibadah seorang manusia di hadapan Allah Swt. sehingga manusia tersebut dapat mencapai kesempurnaan dalam beribadah dan beramal.
Seperti sebagaimana digambarkan dalam Al-Qusyairia bahwa seseorang yang belum sepenuhnya qanaah tidak bisa mencapai tawakkal dan barangsiapa yang belum sepenuhnya tawakal tidak bisa sampai pada taubah(taslim), begitu seterusnya.

PERBANDINGAN  :
            Buku pertama menjelaskan tentang pengertian dan makna daripada ketiga maqam tersebut yakni fakir,sabar, dan tawakal yang lebih mengarah kepada konsep awal yang menjadi dasar yang seharusnya dicapai.
            Buku kedua lebih kepada penjelasan mengenai bagaimana sikap yang sebaiknya dilakukan dalam menempuh jalan ketiga maqam tersebut agar dapat kiranya terlaksana dengan baik dan melanjutkan ke beberapa maqam berikutnya yang lebih tinggi lagi.
Read more