latest articles

Medan Flash-Blogging Competition

Medan, 07 Desember 2018 .


     Berlokasi di sebuah Ballroom / Convention Room pada sebuah hotel bernama "Grand Aston City Hall" di Kota Medan, Sumatera Utara. Sebuah mini kompetisi singkat atau disebut dengan istilah Flash Blogging, yakni kompetisi pembuatan materi sebuah postingan blogspot dalam durasi singkat hanya 1 jam.
     Dibuka oleh presenter Ibu Farida Dewi Maharani, Plt.Kasubdit Media Cetak Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, kemudian dirangkaikan dengan opening materi oleh Staff Ahli Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, Andoko Darta dari Tim Komunikasi Presiden Republik Indonesia.
"Inilah 6 Kategori Pemuda itu , :
1. Kreator
  • ‌Startup,
  • ‌Musisi,
  • ‌Konten
2. Peduli
  • ‌Relawan
  • ‌Aktifis
  • ‌Dan sejenisnya
3. Orang Biasa
  • Pekerja
  • Fans
  • Dan orang - orang biasa lainnya.
4. Pahlawan
  • ‌Atlet
  • ‌Tim SAR
5. Cendikiawan
  • ‌Akademisi
  • ‌Pendidik
6. Explorer
  • Tukang jalan-jalan. " 
     Itulah sekilas pembukaan tadi menurut bapak itu. Dan dua foto dibawah merupakan beberapa penampakan peserta sedang sibuk menuliskan blog nya.


Oke sekian itu saja konkawan postingan kali ini . 🙏 😎
#FlashBlogging
#FlashBloggingMedan
#FlashBloggingKominfo
#KominfoRI
#4TahunIndonesiaKreatif .

Horas ,,
Mejuah juah,
Apa kareba!!.

Read more

[Video] Integrasi Tasawuf dan Sains

UAS Tasawuf Sabrino Read more

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

IDENTITAS
Nama                           : Muhammad Sabrino Raharjo
NIM                            : 72154050
Prodi/Sem.                  : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu         : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

TEMA                                    : Integerasi Tasawuf dan Sains

BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku            : Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana Publishing, 2016)

A.    Integrasi dalam Sejarah Islam
            Dalam sejarah intelektual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan canggih. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli  biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadist, dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufitis, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius dan spiritual (ja’far,2016,102).
            Para filsuf dari mazhab peripatetik merupakan pemikiran Mmuslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumberkan kepada Alquran dan Hadist, lantaran tema-tema filsafat Yunani diIslamisasikan dan disesuaikan dengan pradigma islam.(ja’far,2016, 102)

B.     Integrasi dalam Ranah Ontologi
            Ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala.
            Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan logos yang  bermakna teori, sedangkan dalam bahasa latin disebut ontologia, sehingga ontologia bermakna keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpilkan bahwa ontologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan, dari istilah ontologi ditujukan pada pembahasan tentang objek kajian ilmu. (Ja’far, 2016:105).
            Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dari sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240), alam diciptakan Allah Swt. Melalui prosest ajalli (penampakan diri)-Nya pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. Mengambil dua bentuk: Tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli  syuhudi dalam bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. (Ja’far, 2016:106)

C.    Integrasi dalam Ranah Epistemologi
            Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme yang maknanya pengetahuan, dan logos yang maknanya ilmu atau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih  pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui.(ja’far,2016,107,108)
            Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran  perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik. Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.

D.    Integrasi dalam Ranah Aksiologi
            Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos yang  bermakna teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria, dan dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasii nilai, serta dasar dan karakter  pertimbangan nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. (ja’far, 2016: 109,110)
             Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode takziyah al-nafs.  Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa melengkapi dan mendukung satu sama lain. (Ja’far, 2016:108)

KESIMPULAN :
            Dari segi sejarah islam , integrasi keilmuan telah dikenal sejak zaman era klasik. Berbagai macam jenis integrasi antar dua ilmu telah banyak dilakukan oleh ilmuwan – ilmuwan muslim dunia yang juga merupakan seorang filsuf sekaligus seorang saintis.
            Dalam ranah ontologi yakni teori tentang keberadaan dan sebagaimana adanya, integrasi tasawuf dari segi ini menafsirkan dunia menjadi terdiri atas elemen material seperti mineral, tumbuhan, hewan dan manusia yang merupakan akibat dari dunia spiritual yang memiliki jiwa an-nafs.
            Secara epistemologi integrasi tasawuf yang terjadi ialah pada kontek keilmuan tasawuf yang menjadi dasar dalam melakukan penelitian ilmiha terhadap suatu objek.
            Di ranah aksiologi tasawuf berperan sebagai etika menjadi seorang ilmuwan muslim yang baik.


BUKU 2                     : Filsafat Ilmu (Dalam Tradisi Islam)
IdentitasBuku            : Prof.DR. Al-Rasyidin M.AG,
  DR. Ja’far, M.A(Medan: Perdana Publishing, 2015)

FILSAFAT ILMU DALAM ISLAM
Sub 1 : Epistemologi dalam Islam
Menurut SuriaSumantri beliau menyimpulkan bahwa epistemologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang digunakan untuk mendapatkan ilmu. Epistemologi sebagai bagian Filsafat Ilmu (philosophy of science) mengkaji tentang metode keilmuan sebagai hasil sintesis antara Rasionalisme, dan Empirisme.
Bagian kajian dalam Epistemologi Islam diantara meliputi sarana dan metode ilmiah, klasifikasi ilmu, dan teori kebenaran kajian Epistemologi dalam konsep islam maupun konsep dunia barat tentang semua hal tersebut(Rasyidin dan Ja’far,Filsafat Ilmu:2016,79).
a.       Sarana meraih ilmu dalam islam meliputi 3 hal, yaitu :
1.      Media Pancaindra
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, pancaindra yang paling sering dibicarakan ialah al-sama’a (pendengaran) dan al-abshar (penglihatan). Potensi pancaindra dalam saran manusia untuk meraih ilmu disebabkan karena manusia tidak membawa ilmu dari alam kandungan, maka dari itu manusia diharuskan dapat memanfaatkan potensi pancaindra yang diberikan Allah Swt. untuk menyerap ilmu – ilmu yang ada dimuka bumi.
2.      Menggunakan Akal
Islam telah memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal. Dalam perspektif islam, akal membuat manusia dapat meraih ilmu supaya dapat menjadi makhluk yang bersyukur(Q.S. an-Nahl:78), meskipun hanya sedikit manusia yang bersyukur(Q.S al-Mulk:23).
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa akal manusia memiliki banyak kemampuan, dan umat islam dapat mengidentifikasi tanda – tanda kecerdasan akal.
3.      Hati
Dalam epistemologi Islam, hati ditempatkan sebagai salah satu sarana meraih ilmu. Dalam tradisi Islam, hati (qalb) merupakan subsistem jiwa manusia. Disebutkan bahwa dari segi Fungsi, menurut Achmad Mubarok, qalb berfungsi sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai – nilai serta memutuskan suatu tindakan (Q.S al-A’raf:179), sehingga qalb menjadi identik dengan akal.
Menurut al-Ghazali, seorang sufi dapat meraih ilmu mengenai banyak hal tanpa melalui proses belajar dan usaha, melainkan dengan ketekunan dalam ibadah dan zuhud terhadap dunia.
b.      Metode Keilmuan Ilmiah dalam islam untuk memperoleh ilmu dijabarkan kedalam empat metode , yaitu :
1.      Metode Bayani
Metode Bayani disebut juga dengan metode tafsir. Metode tafsir menjadi salah satu metode ilmiah dalam epistemologi Islam dan digunakan oleh para mufasir. Ulama – ulama dari bidang fikih, teologi, filsafat dan tasawuf kerap menjadikan metode tafsir sebagai metode ilmiah dalam kegiatan akademik mereka. Penerapan metode tafsir merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber pokok ajaran islam, dan wahyu ilahi sebagai sumber ilmu dalam Islam.
2.      Metode Tajribi
Sebagai konsekuensi dari pengakuan terhadap alam material sebagai ilmu , epistemologi Islam menjadikan metode tajribi sebagai salah satu metode yang diakui dalam peradaban Islam. Metode tajribi (observasi dan eksperimen) merupakan metode ilmiah terbaik dalam menjelaskan fenomena – fenomena alam meterial. Sebab itu, metode ini sangat mengandalkan pengamatan indrawi dalam menelaah realitas material.
Dengan demikian, kaum empirisme Barat mengandalkan pengalaman dan pancaindera dalam mendapatkan pengetahuan tentang dunia, sehingga metode observasi dan eksperimen sangat diandalkan.
3.      Metode Burhani
Visi islam menegaskan bahwa dunia spiritual sebagai asal dari dunia material. Sebab itu, ilmuwan muslim membutuhkan metode lain yang tepat dalam menguak alam material sekaligus alam spiritual, dan ilmuwan muslim dalam peradaban Islm telah mengenalkan dan mengembangkan metode burhani (metode rasional).
Dalam perspektif filsafat islam, ilmu logika memberikan manfaat bagi ilmuwan untuk menemukan kebijaksanaan dan kebenaran.
4.      Metode Irfani
Metode penyucian jiwa (tazkiyatun Nafs) dalam rangka meraih dan memperoleh ilmu yang diyakini oleh kaum sufi bahwasanya ilmu hakiki hanya dapat diraih dengan cara mendekatkan diri kepada sosok yang Maha Mengetahui melalui jiwa yang telah suci.
c.       Klasifikasi Ilmu
a.       Ilmu – ilmu religius
Merupakan ilmu yang membahas tentang prinsip – prinsip dasar , keesaan Ilahi, kenabian, dan sahabat nabi. Cabang – cabang furu’ yang mengenai kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah), dan kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (akhlak)
b.      Ilmu – ilmu rasional, intelektual, dan filosofis
Diantaranya ialah ilmu kemanusiaan, alam, terapan, teknologi, dan perbandingan agama serta sejarah islam tentang pemikiran kebudayaan dan peradaban islam, perkembangan ilmu – ilmu sejarah islam, filsafat dan sains islam sebagai sejarah dunia.
d.      Teori Kebenaran
Pertama : Teori Koherensi
Yaitu suatu pernyataan dinilai benar apabila pernyataan tersebut koheren (konsisten) dengan pernyataan – pernyataan sebelumnya yang telah dinilai benar.
Kedua : Korespondensi
Yaitu suatu pernyataan dinilai benar apabilai materi dari pernyataan tersebut berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Ketiga : Pragmatis
Yakni kebenaran apabila suatu pernyataan memiliki sifat fungsional terhadap kehidupan praktis atau pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

Sub 2 : Ontologi dalam Islam
Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat. Dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu.
Filsafat ilmu dalam islam menjelaskan bahwa sumber – sumber ilmu adalah Allah Swt., sebagai sumber dari segala sumber ilmu, wahyu ilahi (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber ilmu kewahyuan dan alam( terutama alam material) sebagai sumber ilmu empirik.
A.    Allah Swt.
Dalam sumber – sumber keagamaan islam, Al-Qur’an dan hadis disebutkan bahwa Allah Memiliki nama – nama (al-asma al-husna) diantaranya iala Al-Alim dan al-Hakim. Keberadaan dua nama tersebut dalam kitab suci umat islam menguatkan doktrin epistemologi islam bahwa sumber dari segala sumber ilmu adalah Allah Swt. Masyarakat akademik patut menyadari bahwa Allah Swt. adalah sumber dari segala sumber ilmu.
Secara teologis disebutkan bahwa Allah Swt. memiliki sifat Maha Mengetahui, dan Pengetahuan-Nya sangat Luas. Dengan demikian umat islam diajarkan senantiasa memohon tambahan ilmu kepada Allah Swt. sebagai Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Tegasnya, Allah Swt. sebagai pemilik ilmu dan kebijaksanaan, maka ilmuan Muslim seyogyanya terus mendekatkan diri kepada-Nya.
B.     Wahyu Ilahi
Dalam epistemologi islam, wahyu ilahi termanifestasi dalam Al-Qur’an dan Hadis yang menjadi salah satu sumber ilmu dalam peradaban islam.
Al-Qur’an dan Hadis merupakan dua sumber utama ajaran islam yang tidak saja membahas masalah agama (akidah,syariah, dan akhlak), tetapi juga masalah sains (Tuhan,alam, dan manusia). Al-Qur’an dan hadis menyajikan pengetahuan tentang ayat – ayat Qauliyah yang menghasilkan ilmu – ilmu religius dan ayat – ayat kauniyah yang menghasilkan ilmu – ilmu intelektual-filosofis. Dengan demikian , dapat dilihat bahwa al-qur’an mengandung doktrin syariat, filsafat, dan sains.
Banyak ahli menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan antara sains dengan ayat – ayat Al-Qur’an dan hadis sahih. Sebab itu, ilmuwan dan pelajar muslim dalam berbagai disiplin keilmuan diharapkan dapat mengambil hikmah dari al-qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran islam yang mengandung prinsip – prinsip dasar agama, sekaligus sains dan teknologi.
C.     Alam
Dalam ontologi Islam, alam menjadi salah satu objek telaah ilmu dan sumber ilmu selain Allah Swt. dan wahyu Ilahi. Dalam karya – karya para filsuf Muslim telah dijelaskan bahwa alam bersifat majemuk, dan tidak seperti kaum materialis dan atheis yang menilai bahwa dunia material/fisik sebagai satu – satunya alam realitas sejati.
Menurut Ghulsyani, Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk meneliti alam. Pengkajian terhadap alam mampu membuat umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. sebab alam merupakan tanda dari keberadaan dan kekuasaan-Nya. Dengan demikian tujuan penelitan terhadap alam adalah mengukuhkan tauhid. Dalam Al-qur’an disebutkan tiga masalah dalam pengkajian terhadap alam. Pertama, asal usul dan evoulsi makhluk – makhluk dan fenomena. Kedua, penemuan aturan, koordinasi, dan tujuan alam. Ketiga, memanfaatkan kekayaan alam yang disediakan tuhan bagi manusia secara sah. Sains dan teknologi harus menjadi alat dalam mewujudkan tujuan – tujuan ilahi.

Sub 3 : Aksiologi dalam Islam
Menurut Bunnin dan yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai, dan penilaian, termasuk makna, karakteristik, dan klasifikasi nilai serta dasar dan karakter pertimbangan nilai. Sumantri kembali menyimpulkan bahwa aksiologi dalam islam membahas kajian tentang kegunaan dan penggunaan ilmu, kaitan antara penggunaan ilmu dengan kaedah moral, dan hubungan antara prosedur dan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma – norma moral dan profesional.
A.    Kegunaan dan Pengembangan Ilmu
Dari perspektif filsafat ilmu dalam tradisi barat, tugas dan tujuan sains (ilmu alam dan ilmu sosial) adalah menjelaskan peristiwa – peristiwa, proses – proses atau fenomena aktual di alam (material) dan tidak ada sistem ide – ide teoretis , teknis, dan prosedur – prosedur matematis yang patut disebut ilmiah jika tidak bertarung dengan fakta – fakta empiris itu pada titik tertentu dan dengan cara tertentu membantu membuatnya lebih dapat dipahami.
Dari perspektif sains Islam, menurut Ghulsyani , sains Islam dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah, keridaan dan kedekatan kepada-Nya yang dalam penerapannya menurut perspektif Islam penggunaan dan pengembangan Ilmu dan teknologi harus memerhatikan filosofi penetapan syariat dalam Islam.
Konsumen dan produsen ilmu dalam islam tidak boleh menggunakan atau mengembangkan sains dan teknologi yang dapat merusak dan menghancurkan agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal manusia secara keseluruhan baik muslim maupun Non-Muslim.
B.     Etika Ilmuan dan Penuntut Ilmu
1.      Etika ilmuwan dalam Al-Qur’an dan Hadis
Sebagai pemilik ilmu, Allah Swt. telah mengajarkan Ilmu kepada para nabi dan rasul. Al-Qur’an dan hadis menjadi argumentasi kuat bahwa para nabi dan rasul meraih banyak ilmu dan hikmah dari Allah Swt. Karena itu, para ilmuwan Muslim harus mampu meneladani figur Maha Ilmuwan dan Ilmuan sejati itu, kendati sangat disadari bahwa keterbatasan manusia membuat mustahil meniru Allah Swt. sebagai pemilik ilmu, serta para nabi dan rasul sebagai pewaris ilmu dari-Nya. Setidaknya ilmuwan muslim harus mampu mengaktualisasikan nama – nama Allah Swt. dan sifat – sifat para nabi dan rasul.
2.      Etika akademik Ilmuwan menurut Ulama
Dalam kitab al-rasul wa al-Ilm, Yusuf al-Qardhawi menegaskan kemestian ilmuwan memerhatikan moralitas ilmu dan ilmuwan. Moralitas Ilmuwan Muslim itu adalah :
a.       Ilmuwan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap Allah Swt. dari berbagai aspek, mulai dari penggunaan sampai kepada penyebaran ilmu.
b.      Ilmuwan harus memiliki sifat amanah Ilmiah. Bentuk amanah ilmiah tersebut adalah ilmuwan harus merujuk pemikiran kepada pemikirnya, dan tidak mengutip dari orang lain tanpa menyebut sumber pengutipan.
c.       Ilmuwan harus bersifat tawaduk.
d.      Memiliki sifat izzah, yakni perasaan mulia tatkala menghadapi orang – orang sombong , dan orang – orang yang bangga dengan kekayaan.
e.       Ilmuwan harus menerapkan ilmunya.
f.       Harus menyebarluaskan ilmunya
g.      Ilmuwan harus membolehkan penerbit untuk menerbitkan karya – karya nya.
h.      Meluruskan niat dalam menempuh pendidikan dan pengajaran.
i.        Harus terus belajar sepanjang hidup.
j.        Ilmuwan harus meniru para ulama salaf dalam tradisi penulisan karya akademik.
k.      Menyiapkan diri menghadapi berbagai cobaan.
l.        Menghormati guru sesuai haknya.
m.    Memberikan perhatian serius tidak saja kepada ilmu – ilmu fardh’ain tetapi juga ilmu – ilmu fardhu kifayah.
Kesimpulan
Epistemologi dalam islam yang dibahas buku ini membicarakan tentang hakikat keilmuan terkait proses – proses memperoleh ilmu dan tatacara dalam melakukan telaah ilmu untk mencari kebenaran ilmu tersebut dengan menggunakan teori – teori tentang kebenaran yang ada untuk memastikan kebenaran ilmu tersebut.
Ontologi dalam perspektif islam membicarakan tentang keberadaan maupun sumber – sumber dari berbagai macam ilmu yang ada ditelaah dan diyakini sebagaimana ilmu tersebut adanya dan keberadaannya ditelusuri dan diteladani.
Aksiologi dalam keilmuan keislaman meliputi berbagai tindakan yang mesti dilakukan oleh seorang ilmuwan dalam konteks kesehariannya dalam meneliti suatu hal yang tetap harus senantiasa ber etika sebagai seorang Ilmuwan Muslim.

PERBANDINGAN  :
            Buku pertama memaparkan cerita tentang bagaimana integrasi yang terjadi antara tasawuf dan sains berdasarkan uraian pengalaman yang dialami oleh tokoh sufi terkemuka.
            Buku kedua berfokus pada konsep keilmuannya dalam perspektif islam tentang filsafat dari segi epistemologi, ontology, dan aksiologi.
Read more

RESUME (Al-Ahwal :Muraqabah dan Khauf)

IDENTITAS
Nama                           : Muhammad Sabrino Raharjo
NIM                            : 72154050
Prodi/Sem.                  : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas                       : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu         : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah                  : Akhlak Tasawuf

TEMA                                    : Al-Ahwal (Muraqabah dan Khauf)

BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Dimensi Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku            : Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana Publishing, 2016)

Mengenal al-Ahwal
Sebagian sufi pernah menyebut beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, al-raja’, dan al-syawq(Ja’far:2016,85).
Pengertian singkat mengenai al-ahwal ialah merupakan sebuah tingkatan pengajaran sufi yang tidak diraih secara mandiri melainkan merupakan sebuah anugerah dari Allah Swt. yang diberikan kepada ummatnya yang dikehendaki.
Al-ahwal tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt. dan keadaannya tidak kekal dalam diri seorang salik(Ja’far:2016,85).

Sub 1 :Al-Muraqabah
Dirangkum menurut Ja’far(2016:86):
Menurut al-Qusyairi muraqabah didasari oleh Q.S al-Ahzab:52 serta hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai al-Iman,al-islam, dan al-ihsan, dimana makna al-ihsan merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt., dan hati meyakini bahwa Allah swt. maha pengawas, mengetahui keadaannya , melihat perbuatannya dan mendengar ucapannya. Keadaan seperti ini dirasakan oleh seorang salik ketika ia sedang pada posisi mengawasi dirinya.
Secara kesimpulan muraqabah diartikan sebagai keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam berbagai aktifitasnya., sehingga ia hanya melakukan amal kebaikan dalam hidupnya dan membenci tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,86).

Sub 2 : al-Khauf (Takut)
Hakikat al-khauf dapat ditemukan dalam hadis , atsar, dan al-qur’an pada Q.S al-Fathir:28, Q.S Al-Bayyinah:8, Q.S ali-Imran: 175, Q.S al-A’la:10, Q.S al-Rahman: 46 dan Q.S as-Sajjadah:16 (Ja’far. 2016:86).
Menurut al-Qusyairi, makna takut kepada Allah Swt. adalah taku kepada siksaan-Nya, baik didunia maupun di akhirat. Abu al-Qasim al-Hakim mengatakan khauf memiliki dua bentuk, Rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt. dan Khasyyah yakni orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran(Ja’far:2016,88).

Kesimpulan
Al-Ahwal merupakan sebuah keadaan anugerah dari Allah dimana tidak dapat diraih secara mandiri melainkan diberikan oleh Allah Swt. kepada hambanya yang dikehendaki dan tidak memiliki keadaan yang kekal dalam diri seorang salik.
Muraqabah merupakan suatu keadaan seorang salik yang selalu merasa diawasi oleh Allah Swt., dalam setiap kegiatannya selama ia telah menjalani serangkaian kegiataan dalam hidup menuju kedekatan diri kepada Allah Swt.
Al-Khauf merupakan perasaan takut seorang Hamba kepada Allah Swt. yang menjadikannya hamba tersebut sangat takut akan siksaan-Nya baik di dunia maupun di akhirat dalam konteks menjadi semakin taat dalam mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.







BUKU 2                     : Ilmu Tasawuf
IdentitasBuku            : M. Alfatih Suryadilaga., dkk (Yogyakarta:KALIMEDIA, 2016)

Al-Ahwal
Al-Ahwal merupakan bentuk jamak dari kata Al-Hal. Secara leksikal artinya keadaan. Atau hal sendiri sudah menjadi bahasa Indonesia. Sedangkan menurut mutashawwifin , hal adalah perasaan dalam hati yang muncul dengan spontan seperti sedih, takut, lapang dada atau sempit, rindu, atau kecenderungan hati (alfatih:2016,95).
Abu Qasim al-Junaidi berkata , hal adalah perolehan yang mengena dalam hati tanpa adanya usaha. Dikatakan bahwa hal adalah dzikir khafi. Al-ahwal muncul dalam hati seorang salik secara spontanitas(alfatih:2016,96).

Sub 1 : Al-Muraqabah
Al-Muraqabat wal al-Qurb adalah keadaan jiwa seorang sufi yang timbul semacam makrifat kepada Allah. Keadaan tersebut selanjutnya akan melahirkan aktivitas amal perbuatan, baik dilakukan oleh anggota badan ataupun hati. Keadaan dimaksud adalah kemasygulan menyebut atau mengingat Allah serta selalu mengincar-Nya(alfatih:2016,108).

Sub 2 : Al-Khauf
Al-Kahuf wal al-Raja’ dalam pandangan al-Muhasibi memiliki peran yang sangat penting dalam perjalanan spiritual sesorang sebagai medium untuk senantiasa rajing menghitung – hitung diri (muhasabah). Ia mengaitkan al-Khauf wal al-Raja’ ini dengan etika beragama. Bagi siapa saja yang memiliki keduanya, maka sesungguhnya ia telah terikat dengan etika – etika beragama. Karena pangkat taat adalah wara’ pangkal wara’ adalah taqwa dan pangkalnya taqwa adalah muhasabah al-Nafs, dimana hal ini berpangkal pada al-Khauf wal Al-Raja’(alfatih:2016,108).

Kesimpulan
Al-ahwal adalah keadaan perasaan hati seperti sedih, takut, lapang dada, rindu, ataupun kecenderungan hati yang muncul secara spontan tanpa diperlukan usaha yang langsung mengena dalam hati .
Al-Muraqabah merupakan sebuah perasaan semacam makrifat kepada Allah yang menimbulkan dorongan untuk melakukan kegiatan amal perbuatan yang selalu mengingat Allah serta selalu mengincar-Nya setiap waktu.
Al-Khauf perasaan yang ingin selalu me-muhasabah diri dalam rangka takut menjadi buruk dan ingin selalu ber-etika dalam beragama dimana seseorang menjadi lebih bertaqwa dan senantiasa bermuhasabah.

PERBANDINGAN  :
            Buku pertama menjelaskan bahwa al-ahwal merupakan sebuah anugerah yang diberikan Allah Swt. kepada seorang salik yang sudah menjalani tingkatan – tingkatan perjalanan menuju sufi yang juga merupakan bentuk keadaan hati dan jiwa ataupun perasaan seorang salik tersebut sebagai hasi dari perjalanan spiritualnya.
Dengan dua diantaranya keadaan tersebut adalah muraqabah yakni perasaan selalu diawasi, dan al-khauf yakni perasaan takut akan siksaan-Nya baik didunia maupun diakhirat.
            Buku kedua mengungkapkan al-ahwal muncul secara spontanitas dalam hati dan perasaan seseorang tanpa memerlukan adanya usaha yang merupakan sebuah dzikir khafi dalam hati seorang hamba.


Read more