Showing posts with label Agama. Show all posts
INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS
IDENTITAS
NIM : 72154050
Prodi/Sem. : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah : Akhlak Tasawuf
TEMA :
Integerasi Tasawuf dan Sains
BUKU 1 : Gerbang Tasawuf (Dimensi
Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku :
Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana
Publishing, 2016)
A. Integrasi dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah intelektual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal
dan dikembangkan dengan canggih. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli
astronomi, ahli biologi, ahli matematika, dan ahli arsitektur yang
mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadist,
dan tasawuf. Meskipun berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu
kealaman, para pemikir Muslim klasik menempuh pola hidup sufitis, dan
kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuan religius
dan spiritual (ja’far,2016,102).
Para filsuf dari mazhab peripatetik merupakan pemikiran Mmuslim yang berhasil
mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumberkan kepada
Alquran dan Hadist, lantaran tema-tema filsafat Yunani diIslamisasikan dan
disesuaikan dengan pradigma islam.(ja’far,2016, 102)
B. Integrasi dalam Ranah Ontologi
Ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami
manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu
pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan
terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan
rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan
esensi, bukan hanya gejala.
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont yang bermakna keberadaan, dan
logos yang bermakna teori, sedangkan dalam bahasa latin disebut
ontologia, sehingga ontologia bermakna keberadaan sebagaimana keberadaan
tersebut. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari
filsafat; dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan
karakteristik esensial keberadaan. Suriasumantri menyimpilkan bahwa ontologi
sebagai bagian dari kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek
ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu
tentang teori keberadaan, dari istilah ontologi ditujukan pada pembahasan
tentang objek kajian ilmu. (Ja’far, 2016:105).
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf Muslim dari sufi berpendapat
bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w.
1240), alam diciptakan Allah Swt. Melalui prosest ajalli (penampakan diri)-Nya
pada alam empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. Mengambil dua bentuk:
Tajalli dzati dalam bentuk penciptaan potensi; dan tajalli syuhudi dalam
bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. (Ja’far, 2016:106)
C. Integrasi dalam Ranah Epistemologi
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, Episteme yang maknanya
pengetahuan, dan logos yang maknanya ilmu atau eksplanasi, sehingga
epistemologi berarti teori pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang
filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok
epistemologi adalah makna pengetahuan, kemungkinan manusia meraih
pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui.(ja’far,2016,107,108)
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari
kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi
membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam
masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran
epistemologik. Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah)
akal dan intuisi.
D. Integrasi dalam Ranah Aksiologi
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan
logos yang bermakna teori. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi
terhadap asal, kriteria, dan dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut
Bunin dan Yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk
makna, karakteristik, dan klasifikasii nilai, serta dasar dan karakter
pertimbangan nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi tentang manfaat akhir
dari segala sesuatu. (ja’far, 2016: 109,110)
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode observasi dan eksperimen
yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian
tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode takziyah
al-nafs. Meskipun ada perbedaan metode, tetapi kedua metode bisa
melengkapi dan mendukung satu sama lain. (Ja’far, 2016:108)
KESIMPULAN :
Dari segi
sejarah islam , integrasi keilmuan telah dikenal sejak zaman era klasik. Berbagai
macam jenis integrasi antar dua ilmu telah banyak dilakukan oleh ilmuwan – ilmuwan
muslim dunia yang juga merupakan seorang filsuf sekaligus seorang saintis.
Dalam ranah
ontologi yakni teori tentang keberadaan dan sebagaimana adanya, integrasi tasawuf
dari segi ini menafsirkan dunia menjadi terdiri atas elemen material seperti mineral,
tumbuhan, hewan dan manusia yang merupakan akibat dari dunia spiritual yang memiliki
jiwa an-nafs.
Secara epistemologi
integrasi tasawuf yang terjadi ialah pada kontek keilmuan tasawuf yang menjadi dasar
dalam melakukan penelitian ilmiha terhadap suatu objek.
Di ranah
aksiologi tasawuf berperan sebagai etika menjadi seorang ilmuwan muslim yang baik.
BUKU 2 : Filsafat Ilmu
(Dalam Tradisi Islam)
IdentitasBuku :
Prof.DR. Al-Rasyidin M.AG,
DR. Ja’far, M.A(Medan:
Perdana Publishing, 2015)
FILSAFAT
ILMU DALAM ISLAM
Sub 1 : Epistemologi
dalam Islam
Menurut
SuriaSumantri beliau menyimpulkan bahwa epistemologi sebagai bagian dari kajian
filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk
meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran, serta sarana yang
digunakan untuk mendapatkan ilmu. Epistemologi sebagai bagian Filsafat Ilmu (philosophy
of science) mengkaji tentang metode keilmuan sebagai hasil sintesis antara
Rasionalisme, dan Empirisme.
Bagian kajian dalam
Epistemologi Islam diantara meliputi sarana dan metode ilmiah, klasifikasi
ilmu, dan teori kebenaran kajian Epistemologi dalam konsep islam maupun konsep
dunia barat tentang semua hal tersebut(Rasyidin dan Ja’far,Filsafat Ilmu:2016,79).
a. Sarana
meraih ilmu dalam islam meliputi 3 hal, yaitu :
1. Media
Pancaindra
Sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an, pancaindra yang paling sering dibicarakan ialah
al-sama’a (pendengaran) dan al-abshar (penglihatan). Potensi pancaindra dalam
saran manusia untuk meraih ilmu disebabkan karena manusia tidak membawa ilmu
dari alam kandungan, maka dari itu manusia diharuskan dapat memanfaatkan
potensi pancaindra yang diberikan Allah Swt. untuk menyerap ilmu – ilmu yang
ada dimuka bumi.
2. Menggunakan
Akal
Islam
telah memberikan kedudukan yang tinggi terhadap akal. Dalam perspektif islam,
akal membuat manusia dapat meraih ilmu supaya dapat menjadi makhluk yang
bersyukur(Q.S. an-Nahl:78), meskipun hanya sedikit manusia yang bersyukur(Q.S
al-Mulk:23).
Dalam
Al-Qur’an dijelaskan bahwa akal manusia memiliki banyak kemampuan, dan umat
islam dapat mengidentifikasi tanda – tanda kecerdasan akal.
3. Hati
Dalam
epistemologi Islam, hati ditempatkan sebagai salah satu sarana meraih ilmu.
Dalam tradisi Islam, hati (qalb) merupakan subsistem jiwa manusia. Disebutkan
bahwa dari segi Fungsi, menurut Achmad Mubarok, qalb berfungsi sebagai alat
untuk memahami realitas dan nilai – nilai serta memutuskan suatu tindakan (Q.S
al-A’raf:179), sehingga qalb menjadi identik dengan akal.
Menurut
al-Ghazali, seorang sufi dapat meraih ilmu mengenai banyak hal tanpa melalui
proses belajar dan usaha, melainkan dengan ketekunan dalam ibadah dan zuhud
terhadap dunia.
b. Metode
Keilmuan Ilmiah dalam islam untuk memperoleh ilmu dijabarkan kedalam empat
metode , yaitu :
1. Metode
Bayani
Metode
Bayani disebut juga dengan metode tafsir. Metode tafsir menjadi salah satu
metode ilmiah dalam epistemologi Islam dan digunakan oleh para mufasir. Ulama –
ulama dari bidang fikih, teologi, filsafat dan tasawuf kerap menjadikan metode
tafsir sebagai metode ilmiah dalam kegiatan akademik mereka. Penerapan metode
tafsir merupakan konsekuensi logis dari kenyataan bahwa Al-Qur’an dan Hadis
merupakan sumber pokok ajaran islam, dan wahyu ilahi sebagai sumber ilmu dalam
Islam.
2. Metode
Tajribi
Sebagai
konsekuensi dari pengakuan terhadap alam material sebagai ilmu , epistemologi
Islam menjadikan metode tajribi sebagai salah satu metode yang diakui dalam
peradaban Islam. Metode tajribi (observasi dan eksperimen) merupakan metode
ilmiah terbaik dalam menjelaskan fenomena – fenomena alam meterial. Sebab itu,
metode ini sangat mengandalkan pengamatan indrawi dalam menelaah realitas
material.
Dengan
demikian, kaum empirisme Barat mengandalkan pengalaman dan pancaindera dalam
mendapatkan pengetahuan tentang dunia, sehingga metode observasi dan eksperimen
sangat diandalkan.
3. Metode
Burhani
Visi
islam menegaskan bahwa dunia spiritual sebagai asal dari dunia material. Sebab
itu, ilmuwan muslim membutuhkan metode lain yang tepat dalam menguak alam
material sekaligus alam spiritual, dan ilmuwan muslim dalam peradaban Islm
telah mengenalkan dan mengembangkan metode burhani (metode rasional).
Dalam
perspektif filsafat islam, ilmu logika memberikan manfaat bagi ilmuwan untuk
menemukan kebijaksanaan dan kebenaran.
4. Metode
Irfani
Metode
penyucian jiwa (tazkiyatun Nafs) dalam rangka meraih dan memperoleh ilmu yang
diyakini oleh kaum sufi bahwasanya ilmu hakiki hanya dapat diraih dengan cara
mendekatkan diri kepada sosok yang Maha Mengetahui melalui jiwa yang telah
suci.
c. Klasifikasi
Ilmu
a. Ilmu
– ilmu religius
Merupakan
ilmu yang membahas tentang prinsip – prinsip dasar , keesaan Ilahi, kenabian,
dan sahabat nabi. Cabang – cabang furu’ yang mengenai kewajiban manusia kepada
Tuhan (ibadah), dan kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (akhlak)
b. Ilmu
– ilmu rasional, intelektual, dan filosofis
Diantaranya
ialah ilmu kemanusiaan, alam, terapan, teknologi, dan perbandingan agama serta
sejarah islam tentang pemikiran kebudayaan dan peradaban islam, perkembangan
ilmu – ilmu sejarah islam, filsafat dan sains islam sebagai sejarah dunia.
d. Teori
Kebenaran
Pertama
: Teori Koherensi
Yaitu
suatu pernyataan dinilai benar apabila pernyataan tersebut koheren (konsisten) dengan
pernyataan – pernyataan sebelumnya yang telah dinilai benar.
Kedua
: Korespondensi
Yaitu
suatu pernyataan dinilai benar apabilai materi dari pernyataan tersebut
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut.
Ketiga
: Pragmatis
Yakni
kebenaran apabila suatu pernyataan memiliki sifat fungsional terhadap kehidupan
praktis atau pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.
Sub 2 : Ontologi
dalam Islam
Ontologi merupakan
bagian dari metafisika yang merupakan bagian dari filsafat. Dan membahas teori
tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial
keberadaan. Suriasumantri menyimpulkan bahwa ontologi sebagai bagian dari
kajian filsafat ilmu membahas tentang hakikat dari objek telaah ilmu dan
hubungan objek ilmu dengan manusia sebagai pencari ilmu.
Filsafat ilmu dalam
islam menjelaskan bahwa sumber – sumber ilmu adalah Allah Swt., sebagai sumber
dari segala sumber ilmu, wahyu ilahi (al-Qur’an dan Hadis) sebagai sumber ilmu
kewahyuan dan alam( terutama alam material) sebagai sumber ilmu empirik.
A. Allah
Swt.
Dalam
sumber – sumber keagamaan islam, Al-Qur’an dan hadis disebutkan bahwa Allah
Memiliki nama – nama (al-asma al-husna) diantaranya iala Al-Alim dan al-Hakim.
Keberadaan dua nama tersebut dalam kitab suci umat islam menguatkan doktrin
epistemologi islam bahwa sumber dari segala sumber ilmu adalah Allah Swt.
Masyarakat akademik patut menyadari bahwa Allah Swt. adalah sumber dari segala
sumber ilmu.
Secara
teologis disebutkan bahwa Allah Swt. memiliki sifat Maha Mengetahui, dan
Pengetahuan-Nya sangat Luas. Dengan demikian umat islam diajarkan senantiasa
memohon tambahan ilmu kepada Allah Swt. sebagai Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana. Tegasnya, Allah Swt. sebagai pemilik ilmu dan kebijaksanaan, maka
ilmuan Muslim seyogyanya terus mendekatkan diri kepada-Nya.
B. Wahyu
Ilahi
Dalam
epistemologi islam, wahyu ilahi termanifestasi dalam Al-Qur’an dan Hadis yang
menjadi salah satu sumber ilmu dalam peradaban islam.
Al-Qur’an
dan Hadis merupakan dua sumber utama ajaran islam yang tidak saja membahas
masalah agama (akidah,syariah, dan akhlak), tetapi juga masalah sains
(Tuhan,alam, dan manusia). Al-Qur’an dan hadis menyajikan pengetahuan tentang
ayat – ayat Qauliyah yang menghasilkan ilmu – ilmu religius dan ayat – ayat
kauniyah yang menghasilkan ilmu – ilmu intelektual-filosofis. Dengan demikian ,
dapat dilihat bahwa al-qur’an mengandung doktrin syariat, filsafat, dan sains.
Banyak
ahli menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan antara sains dengan ayat – ayat
Al-Qur’an dan hadis sahih. Sebab itu, ilmuwan dan pelajar muslim dalam berbagai
disiplin keilmuan diharapkan dapat mengambil hikmah dari al-qur’an dan hadis
sebagai sumber ajaran islam yang mengandung prinsip – prinsip dasar agama, sekaligus
sains dan teknologi.
C. Alam
Dalam
ontologi Islam, alam menjadi salah satu objek telaah ilmu dan sumber ilmu
selain Allah Swt. dan wahyu Ilahi. Dalam karya – karya para filsuf Muslim telah
dijelaskan bahwa alam bersifat majemuk, dan tidak seperti kaum materialis dan
atheis yang menilai bahwa dunia material/fisik sebagai satu – satunya alam
realitas sejati.
Menurut
Ghulsyani, Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk meneliti alam. Pengkajian
terhadap alam mampu membuat umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
sebab alam merupakan tanda dari keberadaan dan kekuasaan-Nya. Dengan demikian
tujuan penelitan terhadap alam adalah mengukuhkan tauhid. Dalam Al-qur’an
disebutkan tiga masalah dalam pengkajian terhadap alam. Pertama, asal usul dan
evoulsi makhluk – makhluk dan fenomena. Kedua, penemuan aturan, koordinasi, dan
tujuan alam. Ketiga, memanfaatkan kekayaan alam yang disediakan tuhan bagi
manusia secara sah. Sains dan teknologi harus menjadi alat dalam mewujudkan
tujuan – tujuan ilahi.
Sub 3 : Aksiologi
dalam Islam
Menurut Bunnin dan
yu, aksiologi adalah studi umum tentang nilai, dan penilaian, termasuk makna,
karakteristik, dan klasifikasi nilai serta dasar dan karakter pertimbangan
nilai. Sumantri kembali menyimpulkan bahwa aksiologi dalam islam membahas
kajian tentang kegunaan dan penggunaan ilmu, kaitan antara penggunaan ilmu
dengan kaedah moral, dan hubungan antara prosedur dan operasionalisasi metode
ilmiah dengan norma – norma moral dan profesional.
A. Kegunaan
dan Pengembangan Ilmu
Dari
perspektif filsafat ilmu dalam tradisi barat, tugas dan tujuan sains (ilmu alam
dan ilmu sosial) adalah menjelaskan peristiwa – peristiwa, proses – proses atau
fenomena aktual di alam (material) dan tidak ada sistem ide – ide teoretis ,
teknis, dan prosedur – prosedur matematis yang patut disebut ilmiah jika tidak
bertarung dengan fakta – fakta empiris itu pada titik tertentu dan dengan cara
tertentu membantu membuatnya lebih dapat dipahami.
Dari
perspektif sains Islam, menurut Ghulsyani , sains Islam dijadikan sebagai alat
untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah, keridaan dan kedekatan kepada-Nya
yang dalam penerapannya menurut perspektif Islam penggunaan dan pengembangan
Ilmu dan teknologi harus memerhatikan filosofi penetapan syariat dalam Islam.
Konsumen
dan produsen ilmu dalam islam tidak boleh menggunakan atau mengembangkan sains
dan teknologi yang dapat merusak dan menghancurkan agama, jiwa, keturunan,
harta, dan akal manusia secara keseluruhan baik muslim maupun Non-Muslim.
B. Etika
Ilmuan dan Penuntut Ilmu
1. Etika
ilmuwan dalam Al-Qur’an dan Hadis
Sebagai
pemilik ilmu, Allah Swt. telah mengajarkan Ilmu kepada para nabi dan rasul.
Al-Qur’an dan hadis menjadi argumentasi kuat bahwa para nabi dan rasul meraih
banyak ilmu dan hikmah dari Allah Swt. Karena itu, para ilmuwan Muslim harus
mampu meneladani figur Maha Ilmuwan dan Ilmuan sejati itu, kendati sangat
disadari bahwa keterbatasan manusia membuat mustahil meniru Allah Swt. sebagai
pemilik ilmu, serta para nabi dan rasul sebagai pewaris ilmu dari-Nya. Setidaknya
ilmuwan muslim harus mampu mengaktualisasikan nama – nama Allah Swt. dan sifat
– sifat para nabi dan rasul.
2. Etika
akademik Ilmuwan menurut Ulama
Dalam
kitab al-rasul wa al-Ilm, Yusuf al-Qardhawi menegaskan kemestian ilmuwan
memerhatikan moralitas ilmu dan ilmuwan. Moralitas Ilmuwan Muslim itu adalah :
a. Ilmuwan
memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap Allah Swt. dari berbagai
aspek, mulai dari penggunaan sampai kepada penyebaran ilmu.
b. Ilmuwan
harus memiliki sifat amanah Ilmiah. Bentuk amanah ilmiah tersebut adalah
ilmuwan harus merujuk pemikiran kepada pemikirnya, dan tidak mengutip dari
orang lain tanpa menyebut sumber pengutipan.
c. Ilmuwan
harus bersifat tawaduk.
d. Memiliki
sifat izzah, yakni perasaan mulia tatkala menghadapi orang – orang sombong ,
dan orang – orang yang bangga dengan kekayaan.
e. Ilmuwan
harus menerapkan ilmunya.
f. Harus
menyebarluaskan ilmunya
g. Ilmuwan
harus membolehkan penerbit untuk menerbitkan karya – karya nya.
h. Meluruskan
niat dalam menempuh pendidikan dan pengajaran.
i.
Harus terus
belajar sepanjang hidup.
j.
Ilmuwan harus
meniru para ulama salaf dalam tradisi penulisan karya akademik.
k. Menyiapkan
diri menghadapi berbagai cobaan.
l.
Menghormati guru
sesuai haknya.
m. Memberikan
perhatian serius tidak saja kepada ilmu – ilmu fardh’ain tetapi juga ilmu –
ilmu fardhu kifayah.
Kesimpulan
Epistemologi dalam
islam yang dibahas buku ini membicarakan tentang hakikat keilmuan terkait
proses – proses memperoleh ilmu dan tatacara dalam melakukan telaah ilmu untk
mencari kebenaran ilmu tersebut dengan menggunakan teori – teori tentang
kebenaran yang ada untuk memastikan kebenaran ilmu tersebut.
Ontologi dalam
perspektif islam membicarakan tentang keberadaan maupun sumber – sumber dari
berbagai macam ilmu yang ada ditelaah dan diyakini sebagaimana ilmu tersebut
adanya dan keberadaannya ditelusuri dan diteladani.
Aksiologi dalam
keilmuan keislaman meliputi berbagai tindakan yang mesti dilakukan oleh seorang
ilmuwan dalam konteks kesehariannya dalam meneliti suatu hal yang tetap harus
senantiasa ber etika sebagai seorang Ilmuwan Muslim.
PERBANDINGAN :
Buku pertama memaparkan cerita tentang bagaimana integrasi yang terjadi antara tasawuf dan sains berdasarkan uraian pengalaman yang dialami oleh tokoh sufi terkemuka.
Buku kedua berfokus pada konsep keilmuannya dalam perspektif islam tentang filsafat dari segi epistemologi, ontology, dan aksiologi.
Read more
RESUME (Al-Ahwal :Muraqabah dan Khauf)
IDENTITAS
NIM : 72154050
Prodi/Sem. : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah : Akhlak Tasawuf
TEMA :
Al-Ahwal (Muraqabah dan Khauf)
BUKU 1 : Gerbang Tasawuf (Dimensi
Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku :
Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana
Publishing, 2016)
Mengenal al-Ahwal
Sebagian
sufi pernah menyebut beberapa contoh al-ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf,
al-raja’, dan al-syawq(Ja’far:2016,85).
Pengertian
singkat mengenai al-ahwal ialah merupakan sebuah tingkatan pengajaran sufi yang
tidak diraih secara mandiri melainkan merupakan sebuah anugerah dari Allah Swt.
yang diberikan kepada ummatnya yang dikehendaki.
Al-ahwal
tidak diraih secara mandiri, melainkan anugerah dari Allah Swt. dan keadaannya
tidak kekal dalam diri seorang salik(Ja’far:2016,85).
Sub 1 :Al-Muraqabah
Dirangkum
menurut Ja’far(2016:86):
Menurut al-Qusyairi muraqabah didasari oleh Q.S al-Ahzab:52 serta hadis
Nabi Muhammad Saw. mengenai al-Iman,al-islam, dan al-ihsan, dimana makna
al-ihsan merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk
melihat Allah Swt., dan hati meyakini bahwa Allah swt. maha pengawas,
mengetahui keadaannya , melihat perbuatannya dan mendengar ucapannya. Keadaan
seperti ini dirasakan oleh seorang salik ketika ia sedang pada posisi mengawasi
dirinya.
Secara kesimpulan muraqabah diartikan sebagai keyakinan seorang salik bahwa
dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam berbagai aktifitasnya., sehingga
ia hanya melakukan amal kebaikan dalam hidupnya dan membenci tidak akan ingin
melakukan perbuatan maksiat dan dosa(Ja’far,Gerbang
Tasawuf : 2016,86).
Sub 2 : al-Khauf (Takut)
Hakikat al-khauf dapat ditemukan dalam hadis ,
atsar, dan al-qur’an pada Q.S al-Fathir:28, Q.S Al-Bayyinah:8, Q.S ali-Imran:
175, Q.S al-A’la:10, Q.S al-Rahman: 46 dan Q.S as-Sajjadah:16 (Ja’far. 2016:86).
Menurut al-Qusyairi, makna takut kepada Allah
Swt. adalah taku kepada siksaan-Nya, baik didunia maupun di akhirat. Abu
al-Qasim al-Hakim mengatakan khauf memiliki dua bentuk, Rahbah yakni orang yang
berlindung kepada Allah Swt. dan Khasyyah yakni orang yang ditarik kendali ilmu
dan melaksanakan kebenaran(Ja’far:2016,88).
Kesimpulan
Al-Ahwal
merupakan sebuah keadaan anugerah dari Allah dimana tidak dapat diraih secara
mandiri melainkan diberikan oleh Allah Swt. kepada hambanya yang dikehendaki
dan tidak memiliki keadaan yang kekal dalam diri seorang salik.
Muraqabah
merupakan suatu keadaan seorang salik yang selalu merasa diawasi oleh Allah
Swt., dalam setiap kegiatannya selama ia telah menjalani serangkaian kegiataan
dalam hidup menuju kedekatan diri kepada Allah Swt.
Al-Khauf
merupakan perasaan takut seorang Hamba kepada Allah Swt. yang menjadikannya
hamba tersebut sangat takut akan siksaan-Nya baik di dunia maupun di akhirat
dalam konteks menjadi semakin taat dalam mengikuti perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
BUKU 2 : Ilmu Tasawuf
IdentitasBuku :
M. Alfatih Suryadilaga., dkk (Yogyakarta:KALIMEDIA,
2016)
Al-Ahwal
Al-Ahwal merupakan
bentuk jamak dari kata Al-Hal. Secara leksikal artinya keadaan. Atau hal
sendiri sudah menjadi bahasa Indonesia. Sedangkan menurut mutashawwifin , hal
adalah perasaan dalam hati yang muncul dengan spontan seperti sedih, takut,
lapang dada atau sempit, rindu, atau kecenderungan hati (alfatih:2016,95).
Abu Qasim
al-Junaidi berkata , hal adalah perolehan yang mengena dalam hati tanpa adanya
usaha. Dikatakan bahwa hal adalah dzikir khafi. Al-ahwal muncul dalam hati
seorang salik secara spontanitas(alfatih:2016,96).
Sub 1 : Al-Muraqabah
Al-Muraqabat wal
al-Qurb adalah keadaan jiwa seorang sufi yang timbul semacam makrifat kepada
Allah. Keadaan tersebut selanjutnya akan melahirkan aktivitas amal perbuatan,
baik dilakukan oleh anggota badan ataupun hati. Keadaan dimaksud adalah
kemasygulan menyebut atau mengingat Allah serta selalu mengincar-Nya(alfatih:2016,108).
Sub 2 : Al-Khauf
Al-Kahuf wal
al-Raja’ dalam pandangan al-Muhasibi memiliki peran yang sangat penting dalam
perjalanan spiritual sesorang sebagai medium untuk senantiasa rajing menghitung
– hitung diri (muhasabah). Ia mengaitkan al-Khauf wal al-Raja’ ini dengan etika
beragama. Bagi siapa saja yang memiliki keduanya, maka sesungguhnya ia telah
terikat dengan etika – etika beragama. Karena pangkat taat adalah wara’ pangkal
wara’ adalah taqwa dan pangkalnya taqwa adalah muhasabah al-Nafs, dimana hal
ini berpangkal pada al-Khauf wal Al-Raja’(alfatih:2016,108).
Kesimpulan
Al-ahwal adalah
keadaan perasaan hati seperti sedih, takut, lapang dada, rindu, ataupun
kecenderungan hati yang muncul secara spontan tanpa diperlukan usaha yang
langsung mengena dalam hati .
Al-Muraqabah
merupakan sebuah perasaan semacam makrifat kepada Allah yang menimbulkan
dorongan untuk melakukan kegiatan amal perbuatan yang selalu mengingat Allah serta
selalu mengincar-Nya setiap waktu.
Al-Khauf perasaan yang
ingin selalu me-muhasabah diri dalam rangka takut menjadi buruk dan ingin selalu
ber-etika dalam beragama dimana seseorang menjadi lebih bertaqwa dan senantiasa
bermuhasabah.
PERBANDINGAN :
Buku pertama menjelaskan bahwa al-ahwal merupakan sebuah
anugerah yang diberikan Allah Swt. kepada seorang salik yang sudah menjalani
tingkatan – tingkatan perjalanan menuju sufi yang juga merupakan bentuk keadaan
hati dan jiwa ataupun perasaan seorang salik tersebut sebagai hasi dari
perjalanan spiritualnya.
Dengan dua
diantaranya keadaan tersebut adalah muraqabah yakni perasaan selalu diawasi,
dan al-khauf yakni perasaan takut akan siksaan-Nya baik didunia maupun
diakhirat.
Buku
kedua mengungkapkan al-ahwal muncul secara spontanitas dalam hati dan perasaan
seseorang tanpa memerlukan adanya usaha yang merupakan sebuah dzikir khafi
dalam hati seorang hamba.
RESUME (Al-Maqamat :Cinta, Ridha, dan Maqam Lain)
IDENTITAS
NIM : 72154050
Prodi/Sem. : Sistem Informasi 1/ Semester 3
Fakultas : Sains dan Teknologi
PerguruanTinggi : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
DosenPengampu : Dr. Ja’far, M.A
Matakuliah : Akhlak Tasawuf
TEMA :
Cinta, Ridha, dan Maqam Lain (Hirarki al-Maqam)
BUKU 1 : Gerbang Tasawuf (Dimensi
Teoritis dan Praktis Ajaran Kaum Sufi)
IdentitasBuku :
Ja’far, GerbangTasawuf (Medan: Perdana
Publishing, 2016)
Sub 1 :Cinta (al-mahabbah)
Dirangkum menurut Ja’far(2016:78):
Cinta (al-mahhabbah)
adalah maqam sebelum menuju ridha. Didalam al-Qur’an terdapat beberapa dalil
tentang al-mahhabbah, yang diantaranya adalah Q.S. al-Maidah:54, Q.S.
al-Shaff:44 dan Q.S Ali-Imran:31. Namun, didalam al-qur’an yang disebutkan
tidak menggunakan kata al-mahabbah, melainkan menggunakan kata dasar hub
yang disebutkan dalam berbagai bentuk kata sebanyak ± 99 kali.
Firman Allah Swt. dalam Surah
Al-Baqarah:165 , yang artinya secara ringkas menggambarkan tentang orang –
orang yang menyembah selain Allah, kemudian mereka mencintai yang mereka sembah
itu sebagaimana mereka mencintai Allah, maka sesungguhnya mereka akan
menyesalinya ketika melihat siksa Allah yang amat berat tiada tertandingi dari
yang mereka sembah itu. Dan orang – orang yang beriman tetaplah amat sangat
cintanya kepada Allah Swt(Ja’far,Gerbang
Tasawuf : 2016,78).
Dalam pengajaran ilmu tasawuf makna daripada
al-Mahabbah dapat dilihat dari ucapan kaum sufi Junaid al-Baghdadi misalnya,
beliau berkata “cinta adalah masukknya sifat – sifat kekasih pada sifat
mencintai” kemudian Husain al-Manshur al-Hallaj juga mengatakan bahwa “Hakikat
cinta itu jika kamu berdiri bersama kekasihmu dengan menanggalkan sifat – sifat
mu” serta ditambah lagi oleh pendapat Ibnu Qudamah “tanda cinta kepada Allah
Swt., adalah senantiasa gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada
Allah seperti membaca al-Qur’an dan Shalat Tahajud” (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,80).
Sub 2 : Ridha (al-Ridha)
Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan
yang artinya adalah “senang, puas, memilih, persetujuan, menyenangkan, dan
menerima. Dalam kamus bahasa Indonesia, ridha adalah “rela, suka, senang hati,
berkenan, dan rahmat.”(Ja’far. 2016:80).
Terdapat 73 kali penyebutan kata Ridha dalam al-Qur’an,
beberapa diantaranya adalah :
1.
Radhiya
= 6 kali.
2.
Radhitu
= 1 kali.
3.
Radhitum
= 2 kali.
4.
Radhu’
= 9 kali.
5.
Tardha
= 4 kali.
6.
Tardhahu
= 2 kali.
7.
Tardhaha
= 1 kali.
8.
Tardhau
= 2 kali,
9.
Tardhauna
= 1 kali.
10.
Tardhaunaha
= 1 kali.
11.
Yardha
= 5 kali.
12.
Yardhahu
= 1 kali.
13.
Yardhahunahu
= 1 kali.
14.
Liyardhahu
= 1 kali.
15.
Yardhaina
= 1 kali.
16.
Yardhukum
= 1 kali.
17.
Yardhunakum
= 1 kali.
18.
Yardhuhu
= 1 kali.
19.
Taradhu
= 1 kali.
20.
Taradhaitum
= 1 kali.
Dan seterusnya banyak lagi penyebutan istilah
ridha secara berulang kali dan dalam berbagai bentuk yang memperlihatkan bahwa
maqam Ridha bernilai penting dalam islam (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,81).
Menurut al-Hujwiri , “ridha terbagi menjadi dua macam,
yaitu Ridha Allah terhadap hambanya, dan Ridha hamba terhadap Allah Swt. Ridha
Allah terhadap hambanya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan
karamah-Nya , sedangkan Ridha hamba terhadap Allah adalah melaksanakan segala
perintah-Nya dan tunduk atas segala hukumnya.” (Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,83)
Makna rida sendiri menurut Ibnu Qudamah ialah : “seorang
hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia,
dan ridha atas penderitaan karena dibalik penderitaan ada pahala apalagi
penderitaan itu berasal dari Allah Swt. (Ja’far,Gerbang
Tasawuf : 2016,84)
Sub 3 : Maqam Lain
Menurut buku karangan Dr.Ja’far,
M.A yang berjudul Gerbang Tasawuf , tertulis maqam lain yang masih dapat
diraih oleh seorang salik setelah mencapai ridha, yakni maqam Makrifat.
Maqam makrifat yang disebutkan
ini menurut sebagian sufi merupakan maqam tertinggi diantara maqam – maqam yang
harus dicapai oleh seorang salik untuk bisa menjadi seorang sufi yang sejati.
Menurut al-Kalabazi, makrifat
terbagi menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah
atas sifat – sifat yang dikemukakan-Nya dan al-ma’rifat haqiqah yang bermakna
makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak
dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami(Ja’far,Gerbang Tasawuf : 2016,84).
Pengertian daripada
makrifat menurut Nashr al-Din al-Thusi adalah derajat tertinggi pengetahuan
tentang Allah Swt. dan pengetahuan tentang-Nya memiliki beberapa tingkatan(Ja’far,Gerbang
Tasawuf : 2016,85).
Kesimpulan
Cinta (al-Mahabbah)
dalam pengajaran ilmu tasawuf merupakan sebuah rasa ketertarikan dari hati
manusia yang mencapai kepada keinginan untuk menjadikan Allah Swt. seperti
kekasih hati manusia dengan menangggal sifat – sifat buruk yang ada pada
manusia kemudian senantiasa gemar mengasingkan diri dalam rangka hanya untuk bermunajat
kepada Allah Swt. dengan memperbanyak dzikir, membaca al-Qur’an , dan
melaksanakan shalat tahajud sebagai bentuk tanda cinta kita kepada Allah Swt.
Ridha adalah sifat
maupun sikap ikhlas menerima apapun adanya yang telah ditetapkan Allah atas
segala bentuk usaha yang telah kita lakukan yang lebih diperkuat lagi dengan
sikap hati yang tenang dalam tunduk terhadap ketentuan – ketentuan dan larangan
Allah Swt.
Makrifat adalah
maqam tertinggi dalam urutan pencapaian seorang salik dalam mencapai sufi yang
merupakan derajat tertinggi daripada pengetahuan tentang Allah Swt.
BUKU 2 : Ilmu Tasawuf
IdentitasBuku :
M. Alfatih Suryadilaga., dkk (Yogyakarta:KALIMEDIA,
2016)
Termuat dalam BAB 3 , tentang (Al-Maqamat, dan Al Ahwal)
Sub 1 : Ridha
(Alfatih:2016,106)
Ridha iala suatu tingkatan pengembaraan ruhani dimana sufi mampu mengubah
segala bentuk penderitaan , kesengsaraan , dan kesusahan menjadi kegembiraan
dan kenikmatan.
Menurut Dzul An-Nun , ridha merupakan sebuah perasaan bahagia dengan
bagaimanapun pahitnya ketentuan tuhan(Alfatih,IlmuTasawuf : 2016,107).
Sub 2 :Cinta
(Suryadilaga,
Alfatih.Ilmu Tasawuf.Kalimedia.Yogyakarta:2016,118-119)
Al-Hubb(Mahabbah)
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam yang lebih ditegaskan kembali
oleh Jamil Shaliba dalam bukunya (Al-Mu’Jam al-Falsafy.1978:349),
mahabbah adalah kecintaan yang mendalam secara ruhaniah kepada tuhan.
Menurut Al-Sarraj
sebagaimana dikutip dari Harun Nasution, mahabbah mempunyai 3 tingkatan :
1. Cinta
Biasa
Iala
cinta yang selalu mengingat tuhan dengan cara berdzikir.
2. Cinta
Orang yang Siddiq (orang yang kenal kepada Tuhan,Kebesaran-Nya, Kekuasaan-Nya,
Ilmu-Nya, dan lain – lain )
Cinta
ini ialah cinta yang dapat menghilangkan tabir pemisah diri seorang dari tuhan yang
kemudian dapat melihat rahasia – rahasia Tuhan. Cinta tingkat ini membuat hati orangnya
sanggup menghilangkan kehendak dan sifat – sifat pribadinya, penuh dengan rasa cinta
kepada Tuhan , dan selalu rindu pada-Nya.
3. Cinta
Orang yang Arif ( orang yang tahu betul dengan Tuhan)
Cinta
ini timbul karena telah tahu betul tentang Tuhan. Akhirnya sifat – sifat yang dicintai
masuk ke dalam diri yang mencintai.
Sub 3 :Maqam Lainnya
Dalam
literatur tasawuf tidak ditemukan keseragaman dari ahli – ahli ilmu tasawuf dalam
menentukan jumlah tingkatan (susunan) dari Al-Maqamat. Hal ini terlihat dari Abu
Nashr Al Sarraj Al Thusi dalam kitabnya Al-Luma’ tingkatan terakhir adalah Ridha,
Abu Bakar Muhammad Al Kalabi tingkatan terakhir adalah makrifat, dan Al-Ghazali
menempatkan pada tempat tertinggi adalah ma’rifat dan ridha.
Oleh
karena itu dalam buku ini diambil fokus pada formulasi Al-Maqamat oleh Al-Thusi
yang didasari oleh hasil pencermatan bahwa masing – masing maqam yang disusun Al-Thusi
banyak terdapat pada kitab – kitab lainnya(Alfatih,IlmuTasawuf
: 2016,96-97).
Kesimpulan
Ridha adalah tingkatan
pengembaran ruhani seorang sufi dimana sufi tersebut perasaan nya telah merasa bahagia
selalu bagaimanapun pahitnya ketentuan yang ditetapkan tuhan
Cinta adalah perasaan
mencintai secara mendalam yang sampai kepada tidak adalagi perasaan maupun hal –
hal lain yang membatasi kedekatan seorang sufi dengan Tuhannya.
PERBANDINGAN :
Buku pertama secara detail menerangkan kejadian yang
dilakukan seorang salik dalam mencapai sufi dan memaparkan banyak sekali
berdasarkan pendapat – pendapat kaum sufi yang sudah terpercaya dan terlebih
dahulu menjalani maqam – maqam ini.
Buku
kedua memuat pemaparan yang lebih terperinci dalam topik cinta, namun tidak memuat
paparan mengenai maqam makrifat yang dikarenakan maqam tersebut hanya dikemukakan
oleh beberapa sufi saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Link Sahabat
Blog Archive
- Cara Menambahkan Bayangan pada foto dengan Photoshop
- Cara Menulis Essay
- Contoh Paragraph dengan Kalimat Utama
- Contoh Puisi Cinta
- Kaos Official Twibi Medan
- Kurikulum 2013
- Matematika
- Membagi Partisi Harddisk Tanpa Instal Ulang
- Obat Tradisional Demam
- Penemu Google
- Puisi Terbaik
- Puisi tema SOSIAl
- Sejarah Kota Sihorbo, Tapanuli Tengah
- Sejarah Nabi Muhammad
- Sejarah Terbentuknya Cherrybelle
- contoh artikel